Subak, Tradisi Yang Masih Dipertahankan di Penyaringan
Bali
juga terkenal dengan tradisi pembagian airnya yang dikenal dengan
sistem Subak, sistem ini sangat terkenal hingga banyak ahli-ahli
pertanian yang sengaja melakukan penelitian dan studi banding ke Bali
untuk sekedar melihat atau mempelajari langsung bagaimana sebuah sistem
pengairan yang baik ini dapat dipertahankan disini.
Memang
harus diakui, pertanian di Bali bisa berkembang hingga dapat membagi
air ke lahan-lahan yang dinilai sulit mendapatkan air untuk menanam
padi.
Penyaringan, yang disebut
sebagai lumbung padi Bali - hingga saat ini masih mempertahankan tradisi
Subak, Desa Penyaringan mempunyai 4 (empat) sekehe (perkumpulan) Subak
yakni Subak Penyaringan, Subak Tibubeleng, Subak Jagaraga dan Subak
Tembles, di lahan yang begitu beragam, berbukit dan mendatar dengan
sumber air yang makin terbatas organisasi ini mampu membagi air untuk
mengairi seluruh lahan pertaniannya seluas 415 Hektar.
Menjelang
musim tanam, setiap Kajeng (satuan hari di kalender Bali) anggota subak
berkumpul untuk membersihkan setiap jalur air, mulai jalur utama,
hingga jalur-jalur sekunder dan yang langsung mengairi petak-petak sawah
diperiksa, diperbaiki dan disempurnakan. Setiap hari para juru air
berkeliling mengawasi pembagian lahan, karena selain memeriksa aliran
air, kalau-kalau ada jalur yang rusak karena longsor atau dirusak
ternak, atau kadang kadang masih ada saja petani yang nakal mencuri
aliran air yang bukan bagiannya.
Berkurangnya
sumber air dan berkurangnya lahan pertanian tidak mengurangi semangat
mereka untuk mempertahankan tradisi Subak. Namun dari sekian puluh -
bahkan ratusan - hektar lahan yang masih ada, para pengayah subak makin
sedikit saja jumlahnya, itu pun hanya mereka yang benar-benar tidak
punya keahlian dan kegiatan lain selain bertani, selebihnya lebih
memilih membayar uang ayahan.
Sayang, belakangan lahan pertanian di Bali semakin berkurang, lahan hijau yang seharusnya berisi tanaman padi, disekitar jalan provinsi antara Gilimanuk menuju Denpasar saat ini sudah hampir dipenuhi perumahan, industri, bengkel, hotel, pertokoan dan perumahan pribadi. Jika ini terus berlangsung, maka bukan tidak mungkin organisasi subak pun akan lenyap. Seperti Subak di Denpasar yang sudah tinggal cerita, contohnya di daerah Panjer (Jl. Waturenggong), seorang (mantan) petani menunjuk sebuah rumah kos-kosan, katanya dulu disana berdiri sebuah Bale Subak yang banyak anggotanya, tapi sekarang lahan pertaniannya sudah habis dan berubah menjadi banyak perumahan, pertokoan, bengkel dan tempat kos-kosan..